Pemerintah telah memberikan relaksasi izin ekspor konsentrat tembaga kepada PT Freeport Indonesia (PTFI) setelah 10 Juni 2023 hingga Mei 2024 mendatang.
Padahal, mulai 10 Juni 2023 ekspor seluruh mineral mentah termasuk konsentrat sejatinya telah dilarang. Hal tersebut tertuang di Undang-Undang No. 3 tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba).
Pemerintah beralasan adanya pandemi Covid-19 menjadi pertimbangan untuk memberikan kelanjutan ekspor bagi perusahaan tembaga terbesar di Indonesia ini.\
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengatakan keputusan diambil atas adanya force majeure karena pandemi Covid-19. Dengan demikian tidak melanggar UU Minerba.
“Kan waktu Covid, dia kontraktornya Jepang. Jepang aja berapa tahun aja itu lockdown-nya. Memang pengerjaan engineering-nya agak sulit berprogres. Kalau engineering gak progres, pembelian materi procurement-nya juga nggak berprogres,” jelasnya di Komplek Istana Presiden, Jakarta dikutip Senin (8/5/2023).
Pemberian izin ekspor Freeport Indonesia ini juga tak terlepas dari produksi dan penjualan komoditas tembaga hingga emas dari tambang Grasberg di Papua.
Bahkan, Arifin pernah menyebut, perusahaan bisa kehilangan pendapatan hingga US$ 8 miliar atau sekitar Rp 120 triliun (asumsi kurs Rp 15.000 per US$) dalam setahun bila ekspor konsentrat dihentikan. Adapun potensi kehilangan pendapatan tersebut dengan asumsi harga tembaga sebesar US$ 4,5 per pon.
“Cukup besar ya (potential loss), hitung saja kalau harganya US$ 4,5 per pon tembaga, itu revenue nya setahun bisa US$ 8 miliar, ujarnya.
Jika mengacu pada laporan sepanjang 2022 lalu, kontribusi PTFI untuk penerimaan negara telah mencapai US$ 3,586 miliar atau Rp 54,15 triliun (asumsi kurs Rp 15.101/US$. Penerimaan tersebut dalam bentuk pajak dividen dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
Presiden Direktur Freeport Indonesia, Tony Wenas mengatakan kontribusi PTFI untuk penerimaan negara dalam Rencana Kerja dan Anggaran Belanja (RKAB) perusahaan tahun 2023 ditargetkan dapat tembus US$ 3,498 miliar. Target tersebut turun tipis dibandingkan tahun sebelumnya lantaran adanya beberapa faktor.
“Untuk RKAB 2023 itu rencana penerimaannya adalah US$ 3,498 miliar yang masih lebih dari Rp 50 triliun juga memang ada pengurangan sedikit dari rencana kerja walau produksi metal diperkirakan hampir sama, ini ada biaya-biaya, bea keluar khususnya yang tadinya 5% sudah berkurang jadi 2,5% dikarenakan progres smelter sudah melebihi 30%. Ini sesuai dengan peraturan yang ada dalam IUPK,” kata Tony dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi VII, Senin (6/2/2023).
Meski demikian, kalau dilihat dalam beberapa tahun ke depan dengan asumsi harga tembaga US$ 4 dan emas US$ 1800 per ounces, menurut Tony penerimaan negara pada tahun 2024 ditargetkan dapat naik menjadi US$ 4,016 miliar. Sementara pada tahun 2025 berkurang kembali menjadi US$ 3,715 miliar, dan pada 2026 naik lagi menjadi US$ 4,070 miliar.
“Ini penurunan biasanya dikarenakan pada saat itu kami menambang kalau dilihat tadi rencana produksi dan juga ada bea keluar yang akhirnya jadi nol karena progres smelter sudah lebih dari 50%,” kata dia.