- IHSG merosot pada pekan lalu, rupiah yang sebelumnya sempat menguat tajam berakhir melemah tipis, sementara SBN mayoritas menguat.
- Perekonomian Amerika Serikat sekali lagi membuat pelaku pasar pusing. Inflasi sudah melandai, pertumbuhan ekonomi juga mulai melambat, tetapi pasar tenaga kerja masih kuat.
- Pasar tenaga kerja yang kuat berisiko membuat inflasi sulit turun, The Fed kemungkinan bisa menaikkan suku bunga lagi. Semakin tinggi suku bunga artinya “malapetaka” ekonomi AS semakin besar, dan bisa berdampak ke pasar finansial global.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), rupiah hingga pasar obligasi berisiko menghadapi awal pekan yang berat. Sebabnya, perekonomian Amerika Serikat (AS) yang “tidak jelas”, dan membuat banyak pelaku pasar bingung.
Selain perekonomian AS, beberapa faktor yang mempengaruhi pergerakan pasar finansial Indonesia hari ini akan di bahas pada halaman 3 dan 4.
Melihat ke belakang, IHSG tercatat merosot hingga 1,85% ke 6.787,631. Dalam empat hari perdagangan (1 Mei libur), IHSG merosot sebanyak tiga kali. Investor asing melakukan aksi jual bersih (net sell) sebesar Rp 53,5 miliar di pasar reguler pada pekan lalu. Tetapi jika ditambah dengan pasar tunai dan nego, ada net buy sebesar Rp 218,9 miliar.
Rupiah pada Kamis pekan lalu sempat melesat ke Rp 14.560/US$ yang merupakan level terkuat sejak Juni 2022. Sayangnya penguatan tersebut gagal dipertahankan. Posisi rupiah dan penguatannya yang sekitar 6% sepanjang tahun ini tentunya memicu koreksi teknikal.
Mata Uang Garuda menutup pekan lalu Rp 14.670/US$, melemah tipis 0,03%.
Sementara itu mayoritas Surat Berharga Negara (SBN) mengalami penguatan. Hal ini terlihat dari imbal hasilnya (yield) yang mengalami penurunan, hanya SBN tenor 25 tahun yang mengalami kenaikan.
Untuk diketahui, pergerakan harga SBN berbanding terbalik dengan yield. Ketika harga naik maka yield akan turun, begitu juga sebaliknya.
Penguatan SBN, begitu juga rupiah yang sempat menyentuh Rp 15.500-an per dolar AS, termasuk, IHSG yang sempat sekali menguat terjadi pada perdagangan Kamis pekan lalu. Pelaku pasar merespon pengumuman kebijakan moneter bank sentral AS (The Fed).
Di bawah pimpinan Jerome Powell, The Fed kembali menaikkan suku bunga sebesar 25 basis poin menjadi 5% – 5,25%. Level tersebut menjadi yang tertinggi sejak Agustus 2007.
Kenaikan tersebut sesuai ekspektasi pelaku pasar, selain itu The Fed memberikan sinyal ini bisa menjadi akhir periode kenaikan suku bunga.
“Bagian yang paling diperhatikan dari pernyataan The Fed yakni outlook kebijakan moneter ke depannya, para pembuat kebijakan (FOMC) bersikap melunak terhadap perlunya pengetatan moneter tambahan,” kata Jay Bryson, kepala ekonomi di Wells Fargo, sebagaimana dilansir Reuters, Kamis (4/5/2023).
Sementara itu dari dalam negeri, data inflasi, ekspansi sektor manufaktur, serta pertumbuhan sebenarnya menjadi sentimen positif. Sayangnya belum mampu mendongkrak kinerja IHSG dan rupiah.
Badan Pusat Statistik (BPS) pagi ini mengumumkan pertumbuhan ekonomi pada kuartal I-2023 mencapai 5.03% (year on year/yoy). Realisasi ini cenderung lebih tinggi dibandingkan periode yang sama tahun lalu, 5,02%.
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia dari 13 institusi juga memperkirakan pertumbuhan ekonomi mencapai 4,95% (yoy).
Meski lebih tinggi dari ekspektasi, data tersebut belum banyak mempengaruhi pergerakan pasar finansial Indonesia, sebab pada Jumat malam ada rilis data tenaga kerja Amerika Serikat yang bisa mempengaruhi ekspektasi suku bunga.
Bursa saham AS (Wall Street) sebagai kiblat bursa saham dunia mencatat kinerja buruk pada pekan lalu. Maka wajar saja jika IHSG kesulitan menguat.
Indeks Dow Jones tercatat merosot 1,2%, disusul S&P 500 minus 0,8%. Keduanya membukukan kinerja mingguan terburuk sejak Maret lalu. Sementara indeks teknologi, Nasdaq, mampu mencatat penguatan tipis 0,07%.
Krisis perbankan regional masih menghantui Wall Street. Saham PacWest bank misalnya yang jeblok hingga 43% sepanjang pekan lalu. Seandainya tidak rebound tajam di hari Jumat, kemerosotannya bisa lebih besar lagi.
Kemerosotan perbankan regional di AS kembali berlanjut pada pekan lalu setelah First Republic “dicaplok” oleh JPMorgan.
Mengutip Reuters, JPMorgan akan membayar US$10,6 miliar atau setara Rp156,88 triliun (Rp14.800/1US$) kepada US Federal Deposit Insurance Corp (FDIC) sebagai bagian dari kesepakatan untuk mengendalikan sebagian besar aset bank, termasuk mendapatkan akses ke basis klien burjois milik Bank First Republic.
CEO JPMorgan, Jamie Dimon begitu juga dengan ketua The Fed Jerome Powell sebelumnya mengatakan krisis perbankan regional yang dipicu deposit outflow sebagian besar sudah berakhir. Tetapi kembali jebloknya sektor perbankan regional menunjukkan investor masih kurang yakin.
Meski membukukan kinerja yang buruk sepanjang pekan lalu, Wall Street sebenarnya sukses menguat pada perdagangan Jumat (5/5/2023) waktu setempat. Seperti disebutkan halaman sebelumnya, sektor perbankan regional rebound cukup kuat pada saat itu, yang membuat Wall Street mampu menguat.
Penguatan Wall Street pada perdagangan Jumat bisa menjadi sentimen positif bagi pasar finansial Indonesia hari ini. Tetapi yang patut menjadi perhatian adalah data tenaga kerja Amerika Serikat.
Pada Jumat malam lalu, Departemen Tenaga Kerja AS melaporkan sepanjang April perekonomian Amerika Serikat mampu menyerap 253.000 tenaga kerja di luar sektor pertanian (non-farm payrolls). Angka tersebut jauh lebih tinggi dari estimasi Wall Street sebanyak 180.000 orang
Tingkat pengangguran turun menjadi 3,4% dari bulan sebelumnya 3,5%. Padahal, Wall Street memproyeksikan naik menjadi 3,6%. Tingkat pengangguran 3,4% ini menyamai rekor terendah sejak 1969.
Kemudian rata-rata upah per jam naik 0,5% month-to-month, lebih tinggi dari ekspektasi 0,3% sekaligus tertinggi dalam satu tahun terakhir. Secara year-on-year, rata-rata upah tersebut naik 4,4% juga lebih tinggi dari ekspektasi 4,2%.
Dalam kondisi normal, pasar tenaga kerja yang kuat dengan rata-rata upah yang tinggi tentunya menjadi kabar baik. Tetapi, dalam kondisi “perang” melawan inflasi hal itu menjadi buruk bahkan bisa sangat buruk.
Rata-rata upah per jam yang masih naik tinggi tentunya membuat daya beli masyarakat tetap kuat. Alhasil, inflasi menjadi sulit turun.
The Fed yang sebelumnya mengindikasikan akan menghentikan kenaikan suku bunganya kini muncul lagi “benih-benih” pengetatan lebih lanjut.
Hal tersebut terlihat di perangkat FedWatch milik CME Group, pelaku pasar kini melihat ada probabilitas sebesar 8% The Fed akan kembali menaikkan suku bunga pada bulan Juni. Probabilitas tersebut memang masih kecil, tetapi bisa semakin meninggi jika data inflasi di AS kembali menunjukkan kenaikan.
Kuatnya pasar tenaga kerja AS cukup membuat pelaku pasar bingung. Dengan kenaikan suku bunga The Fed yang sangat agresif, pasar tenaga kerja harusnya melemah.
Sejak Maret 2022 lalu, The Fed sudah menaikkan suku bunga sebanyak 10 kali dengan total 525 basis poin.
Inflasi di Amerika Serikat sudah mulai melandai, pertumbuhan ekonomi di kuartal I-2023 juga mulai melambat. Tetapi pasar tenaga kerja masih sangat kuat.
Jika The Fed kembali menaikkan suku bunga, tentunya pasar finansial bisa kembali gonjang-ganjing, yang juga berdampak ke dalam negeri.
Semakin tinggi suku bunga, maka risiko resesi yang semakin dalam di Amerika Serikat juga semakin besar.
Ekonom Nouriel Roubini atau yang dikenal dengan “Dr Doom” alias “Dokter Kiamat” dalam beberapa kesempatan memperingatkan “malapetaka” yang akan dialami Amerika Serikat. Ia melihat krisis yang terjadi bisa kombinasi antara stagflasi 1970an dan krisis finansial global 2008.
“Jika saya benar, rata-rata inflasi tidak akan sebesar 2%, tetapi 6%. Kemerosotan yang kita lihat pada tahun lalu pada saham dan obligasi akan menjadi lebih parah dalam beberapa tahun ke depan,” kata Roubini dalam wawancara dengan CNN, Kamis (23/2/2023).
Dari dalam negeri, data cadangan devisa (Cadev) April bisa menjadi penggerak pasar finansial, khususnya rupiah.
Pada bulan lalu, Bank Indonesia (BI) melaporkan cadangan devisa per akhir Maret 2023 adalah sebesar US$ 145,2 miliar, naik US$ 4,9 miliar dari Februari. Cadev tersebut sudah naik lima bulan beruntun dengan total US$ 15 miliar, dan mendekati rekor tertinggi sepanjang masa US$ 146,9 miliar.
Kenaikan Cadev artinya BI punya lebih banyak amunisi untuk menstabilkan rupiah jika mengalami gejolak. Stabilitas rupiah menjadi penting bagi investor asing untuk masuk ke pasar saham Indonesia, sebab risiko kerugian kurs menjadi bisa diminimalisir.
Posisi cadangan devisa juga bisa menunjukkan seberapa sukses instrumen operasi moneter Term Deposit Valuta Asing Devisa Hasil Ekspor (TD Valas DHE) yang diterapkan BI sejak awal Maret sukses menarik dolar AS milik eksportir yang diparkir di luar negeri.
Kabar baiknya, operasi moneter tersebut mulai menunjukkan hasil positif. Dalam lelang yang dilakukan BI, eksportir sudah mulai memasukkan valas mereka ke tenor 6 bulan. Artinya, dengan tenor panjang yang semakin diminati, maka dolar AS milik eksportir akan lebih lama parkir di dalam negeri. Stabilitas rupiah pun bisa lebih terjaga.
Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:
- Data tingkat keyakinan bisnis dan izin membangun Australia (8:30 WIB)
- Data cadangan devisa Indonesia (10:00 WIB)
- Data cadangan devisa Singapura (16:00 WIB)
- Konferensi pers Komite Stabilitas Sistem Keuangan Indonesia(16:00 WIB)
Berikut sejumlah agenda emiten di dalam negeri pada hari ini:
- Cash Dividend (recording): ASII, TGKA, INDY, MFIN, TEBE, MCOL, MLPT
- Cash Dividend (cum): BYAN
- IPO (offering end): SMIL
- IPO (listing): TYRE, DOOH, RAAM, JATI
- Public Expose: MLPL
- RUPS: PLIN, SSMS, BWPT, MLPL, POWR, SMBR
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan Ekonomi (Q1-2023 YoY) | 5,03% |
Inflasi (April 2023 YoY) | 4,33% |
BI-7 Day Reverse Repo Rate (April 2023) | 5,75% |
Surplus Anggaran (APBN Februari 2023) | 0,61% PDB) |
Surplus Transaksi Berjalan (Q4-2022 YoY) | 1,3% PDB |
Surplus Neraca Pembayaran Indonesia (Q4-2022 YoY) | US$ 4,7 miliar |
Cadangan Devisa (Maret 2023) | US$ 145,23 miliar |